“SEGALA sesuatu pasti akan menghampiri masa transisi ( perubahan ), sedangkan yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri”. itulah peribahasa klasik yang tetap relevan hingga masa dewasa saat ini. Tak terkecuali dengan disiplin sosiologi yang tetap meneruskan keeksistensiannya dalam pelbagai perubahan. Dan semua perubahan yang dialami oleh ilmu sosiologi itu sendiri, didasari oleh tuntutan zaman yang semakin menunjukan taringnya dalam menentukan integritas sebuah literatur sosial. Kecerdasan ideologi manusia modern saat ini pun yang menjadi motivasi primer dalam pengembangan kekompleksitasan institusi sosial.
Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.
Realitas sosial berbeda dari individu biologis kognitif realitas atau kenyataan, dan terdiri dari prinsip-prinsip sosial yang diterima dari suatu komunitas. Sebagian ulama seperti John Searle percaya bahwa realitas sosial dapat dibentuk secara terpisah dari setiap individu atau ekologi sekitarnya (bertentangan dengan pandangan psikologi persepsi termasuk JJ Gibson, dan orang-orang yang paling ekologis teori ekonomi) . Yang paling terkenal prinsip realitas sosial adalah “kebohongan besar”, yang menyatakan bahwa kebohongan yang luar biasa lebih mudah untuk meyakinkan orang-orang yang kurang heboh daripada kebenaran. Banyak contoh dari politik dan teologi, e.g. klaim bahwa Kaisar Romawi ternyata adalah seorang “dewa”, menunjukkan bahwa prinsip ini dikenal dengan efektif propagandis dari awal kali, dan terus diterapkan hingga hari ini, misalnya model propaganda Noam Chomsky dan Edward S. Herman, yang mendukung ‘kebohongan besar’ tesis dengan lebih spesifik.
Masalah realitas sosial telah diperlakukan secara mendalam oleh para filsuf dalam tradisi fenomenologis, terutama Alfred Schütz, yang menggunakan istilah dunia sosial untuk menunjuk ini tingkat realitas yang berbeda. Sebelumnya, subjek telah dibahas dalam sosiologi serta disiplin ilmu lainnya. Herbert Spencer, misalnya, istilah super-organik untuk membedakan tingkat sosial realitas di atas biologis dan psikologis
Saat ini, berdasarkan realitas yang ada, sudah jelas bahwa kita berada pada gelombang ketiga, dimana kita hidup di zaman yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang memicu terjadinya ledakan informasi. Ledakan informasi yang terjadi membawa berubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Kita telah mengalami masa peralih dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.Contoh realitas sosial adalah konflik, kematian, proses hukum, kriminalitas, olah raga, seni budaya, krisis ekonomi dan lain-lain. Sedangkan realitas personal contohnya adalah mimpi dan hal-hal privacy lainnya yang tidak diperkenankan menjadi bahan dasar penulisan berita. Itu berarti jurnalisme tidak mungkin menjadikan realitas personal sebagai bahan penulisan berita karena hakikat jurnalisme adalah sosial untuk kepentingan publik.
Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu
Paradigma ilmu sosial pada dasarnya mengakar kuat pada disiplin ilmu lainnya : disiplin komunikasi, filsafat, antropologi dan disiplin sosiologi itu sendiri. Dari cabang paradigma tersebut kemudian diformulasikan sehingga membentuk beragam definisi yang berasal dari fakta sosial itu sendiri. Sosial berbudaya , sosial berpolitik, sosial beragama, dsb. Semuanya itu dikembangkan oleh pengkajian ilmiah para sosiolog terdahulu yang dilestarikan dalam bentuk tulisan maupun lisan secara turun-temurun sehingga melahirkan reward bagi aspek perkembangan zaman.
Indonesia adalah negara yang berkembang dengan kebiasaan “berbicara“, tidak menggemari kebiasaan menulis. Sampai untuk mengetahui historis dari sebuah kota di Indonesia, kita harus jauh-jauh berangkat ke Belanda untuk mencari sumber-sumber yang relevan, tentu saja sumber yang berbentuk tulisan. Sungguh ironis sekali bukan?. Itulah salah satu penyebab mengapa kebanyakan orang Indonesia jago mengomentari, jago dalam memperdebatkan suatu masalah, jago beroirientasi menggunakan kata-kata lisan, tanpa menyadari mereka mampu atau tidaknya dalam mengimplementasikan asumsi mereka sendiri. itulah kelemahan yang membudaya sejak 4 dekade perkembangan bangsa kita ini.
Suatu perubahan erat kaitannya dengan diri pribadi seseorang. Dan perubahan itu sendiri tidak akan sempurna tanpa indikasi dari lingkungan sekitar. Begitu juga dengan fenomena nyata dalam ruang lingkup dunia akademisi UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini. Sudah menjadi hukum alam pada sebuah intitusi akademik, semua para penganut individulisme sejati saling bersitegang dengan mengerahkan semua abilitas, memancarkan integritas, sampai harga diri pun dijual bebas demi menyandang predikat sebagai “mahasiswa teladan” dengan IP diatas nilai rata-rata. Dengan gejala seperti ini, semua elemen mahasiswa mengalami perubahan yang super kompleks karena adanya motivasi untuk menjadi yang terbaik dari komunitas orang-orang terbaik.
“Mahasiswa” dua buah kata yang mengandung banyak makna, sehingga melahirkan banyak generasi penerus bagi bangsa, sekaligus merupakan momok paling menakutkan bagi para penguasa negara yang bertindak semena-mena. Tetesan darah dan peluh yang keluar dari jiwa sosial mahasiswa menjadi saksi abadi bagi sejarah perkembangan Indonesia. Salah satu peristiwa yang tak pernah membias dari pikiran kita adalah peristiwa “Tragedi ’98”, ribuan jiwa melayang begitu saja tanpa adanya pertanggungjawaban. Semua itu hanya mempertahahkan harga diri bangsa yang diinjak-injak oleh rezim penguasa yang anarkis. Dan pada akhirnya perubahan besar pun lahir dari peristiwa heroik para mahasiswa dengan mengibarkan bendera Reformasi, menghembuskan nafas demokrasi, menjunjung tinggi hak azasi manusia pun terealisasi berkat adanya gerakan mahasiswa tersebut.
Menciptakan suatu perubahan tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak sesingkat mata berkedip. Semuanya butuh proses dan tahap yang signifikan untuk mencapai hasrat tersebut. Terlebih jika bidikan target yang akan dirubah berskala besar seperti perubahan tatanan sosial suatu negara. Bangsa Indonesia selalu berusaha menciptakan segala bentuk perubahan. Dari berbagai macam usaha perubahan tersebut, banyak resiko dan pengorbanan yang ditempuh oleh semua elemen negara. Tapi kenyataanya, semua hanya hisapan jempol belaka. Ruh-ruh pancasila yang menjadi ideologi bangsa pun seakan bisu tak berbicara, hanya diam terpaku pasrah digerogoti oleh penganutnya sendiri. Dimanakah letak kesalahan kita? Apakah kita perlu merubah ideolgi bangsa yang kita anut sejak 64 tahun belakangan ini?, Langkah apalagi yang harus kita ambil untuk menyelamatkan nyawa bangsa ini?, Dan kapankah semua ini akan berakhir?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang seringkali muncul menghiasi dinding pikiran kita ketika menyaksikan segala fenomena yang ada pada diri bangsa kita.
Pertanyaan diatas sebenarnya pertanyaan yang diajukan oleh kita dan kepada kita sendiri yang harus menjawabnya. Karena semua perubahan yang kita inginkan itu kembali kepada diri kita sendiri yang harus melaksanakannya. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang harus bertanggung jawab atas perbuatan dan kesalahan kita sendiri.
Inilah, permasalahan yang sudah menjamur menjadi fenomena abadi pada perkembangan negara kita. Penyelesaiannya pun tak pernah berujung, malah menimbulkan bibit-bibit baru yang semakin bercabang. Kebobrokan moral bangsa pun semakin menghawatirkan, kesejahteraan bagi masyarakat hanya sebagai hiasan janji para penebar impian, subsidi negara bagi pendidikan pun dimakan. Padahal, modal utama untuk memajukan bangsa adalah dari sektor pendidikan. Sumber Daya Alam yang kita miliki pun tidak diaplikasikan dengan sebaik-baiknya, semuanya disalah gunakan, maka tidak mustahil negara kita ini selalu ditimpah berbagai macam bencana alam, semua ini memang karena ketidakpiyawaian kita sendiri dalam mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan.
Pada akhirnya saya mengambil kesimpulan, semua dampak yang kita rasakan saat ini, baik maupun buruknya, semua itu mencerminkan bagaimana kita mengimplementasikan semua aspek yang terkandung didalamnya.
Terima kasih sebesar-besarnya untuk http://yogieadiputra.wordpress.com/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer